Rabu, 23 Februari 2011

Serat Daun Nanas dari Pemalang

Tanaman nanas yang selain dapat diambil buahnya, juga dapat diambil serat daunnya untuk dijadikan berbagai produk kerajinan. Salah satunya untuk dijadikan material tekstil atau komposit lainnya. Perkebunan nanas di Indonesia banyak terdapat di Lampung, Subang, dan kota lainnya seperti di Pemalang. Tepatnya di Desa Beluk Kecamatan Belik menghasilkan buah nanas yang biasanya oleh masyarakat setempat dijual langsung, bahkan ada juga yang di ekspor. Daunnya sebagian besar dibuang atau dibiarkan membusuk untuk dijadikan pupuk. Sebagian masyarakat juga ada yang dilatih untuk pembudidayaan daun nanas untuk diambil seratnya dan dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi. Salah satu pengrajin serat daun nanas adalah Bapak Slamet. Warga Desa Beluk mengenalnya dengan sebutan Slamet Ps. "Karena ada banyak orang yang namanya sama, jadi nama saya ditambahkan Ps, atau penambang pasir. Berkat penyuluhan pengolahan limbah tanaman nanas yang pernah diberikan oleh pengrajin tenun di Pekalongan, yakni dari CV. Ridaka. Masyarakat Desa Beluk memiliki pekerjaan tambahan yang diiringi penambahan penghasilan pula. Sekitar tahun 2000-an hampir seluruh masyarakat mengolah serat daun nanas menjadi benang serat daun nanas dengan cara menyambungkan serat satu persatu. Sayangnya masa kejayaan tersebut tidak bertahan lama, seiring dengan banyak bermunculan tekstil serat nanas palsu yang jauh lebih murah, sehingga pasar serat daun nanas perlahan tapi pasti mengalami penurunan. Dengan sedikitnya permintaan pasar, secara tidak langsung mengurangi jumlah produksi. Kini warga Desa Beluk hanya mengolah serat daun nanas sebagai pekerjaan sambilan jika ada waktu luang saja. Dahulu bisa menghasilkan 10-20 Kg benang setiap bulannya, sekarang tidak lebih dari 1 ons tiap bulannya.
Disamping itu pasar serat daun nanas kurang optimal. Jika pasar Eropa dan Asia masih gencar dengan serat daun nanas, di Indonesia sendiri masih belum maksimal dalam pengelolaan serat daun nanas. Masalah yang muncul diantaranya :
1. Belum adanya teknologi yang mampu menghasilkan serat berkualitas sebaik cara manual untuk kuantitas yang tinggi. Di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta sudah membuat alat/mesin pemisah serat. Sayangnya mesin yang disebut Dekotikator tersebut belum mampu menghasilkan serat sehalus pemisahan secara manual.
2. Belum adanya teknologi yang mampu menyambungkan serat dengan sangat halus, sehingga penyambungan terbaik dilakukan dengan cara manual.
3. Belum ada pengembangan desain dari serat daun nanas sehingga secara visual dan struktural, desain tekstil serat daun nanas tidak mengalami perubahan yang signifikan.


Nah... sekarang ini adakah yang bisa membantu masyarakat pengrajin serat daun nanas berdasarkan masalah diatas??? saya sendiri mencoba memecahkan salah satu masalah yang muncul, khususnya mengenai desain (karena study saya tentang desain.. hehehehe). Diharapkan tulisan ini bisa memacu peneliti-peneliti lainnya, khususnya yang bergelut di dunia teknologi dan permesinan untuk membantu masyarakat di Indonesia agar dapat mengembangkan diri dan memberikan sumbangsih kepada negara dengan mengekspor hasil-hasil kerajinan masyarakat khusunya di Pedesaan. Bila masalah di bagian hulu ini dapat terpecahkan, Insya Allah dibagian hilirpun akan berkembang dengan sendirinya. Sehingga produk yang dihasilkanpun tidak kalah bagusnya dengan produk sejenis buatan luar negeri. 


 Warga Desa Beluk, Pak Slamet Ps yang menekuni dunia serat alam sejak tahun 1995, khususnya serat daun nanas dan serat pisang.

5 komentar:

  1. apakah kerajinan itu masih ada hingga kini?

    BalasHapus
  2. Apa sampai exsport juga...kah

    BalasHapus
  3. Kira kira serat daun nanas harga keringnya dijual berapa ya

    BalasHapus
  4. Kira kira serat daun nanas harga keringnya dijual berapa ya

    BalasHapus
  5. Adakah nmr telp/WA yg bisa kami hubungi?

    BalasHapus