Jumat, 25 Februari 2011

Pengrajin Tenun di Majalaya Tahun 1930-2010

Prinsip kerja alat tenun inilah menjadikan Alat Tenun Bukan Mesin diciptakan.


Kota Majalaya dahulu dikenal dengan subutan kota Dollar. Tentu bukan hanya karena kota tersebut mampu menghasilkan banyak dolar tetapi mampu memproduksi barang yang berkulitas baik dan bernilai jual baik hingga ke negara-negara lainnya. Barang yang diproduksi oleh kota Majalaya adalah tekstil berupa kain sarung yang pada tahun 1960-an mampu menyuplai 40% kebutuhan tekstil di Indonesia. Masa kejayaan Majalaya berlangsung cukup singkat, dalam waktu satu dekade perkembangan teknologi yang sangat cepat membuat banyak pengrajin harus pasrah menggulung tikar dan beralih ke profesi lainnya. Pada masa itu banyak pengrajin yang masih menggunakan teknologi sederhana yaitu Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).

Bpk. Surya Hardady menceritakan sejarah pertenunan di Majalaya 
dan sejarah Usaha Pertenunan Pustaka yang merupakan warisan dari kedua orang tuanya.
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Majalaya diantaranya Bpk. Sawali Abdul Gofur, Bpk. H. Surya Herdady (generasi ke-2 Perusahaan Tenun Pusaka) dan Bpk. Hidayat (Mantan Ketua UPT Majalaya) serta laporan penelitian Fifin Safrina H (1981). Masyarakat Majalaya sudah memiliki keterampilan menenun dengan memproduksi stagen (busana wanita) untuk dikonsumsi sendiri atau dijual kepada tetangga sekitar dengan menggunakan alat sederhana yang disebut kentreung. Pada saat itu sebagian penduduk juga menanam kapas dihalaman rumah sebagai bahan bakunya. Alkisah pada tahun 1930-an seorang Belanda yang singgah ke Majalaya melihat empat gadis penenun. Keempat sahabat tersebut diberi pelatihan dan disekolahkan di Bandung untuk mendapatkan pendidikan yang lebih mengenai pertenunan. Kemudian keempatnya diberi modal Alat Tenun Kayu (ATK = ATBM) untuk membuka usaha mandiri. Keempat penenun tersebut adalah Nyi Mas Maryam, Nyi Enda Suhaenda, Nyi Oya Rohaya, dan Nyi Icih.  Masing-masing membuka usaha sendiri-sendiri kecuali Nyi Icih. Nyi Mas Maryam menggabungkan usaha pertenunannya dengan usaha tenun Bapak Ondjo Argadinata dan menamai usaha tersebut "Pusaka". Sedangkan Nyi Enda Suhaenda mendirikan usaha "Roswida" dan Nyi Oya Rohaya membuka usaha "Tawakal". Seluruhnya berfokus pada usaha tenun sarung. Saat itu kemajuan usaha pertenunan sangat cepat, disamping harga alat yang dapat dijangkau, keterampilan masyarakat saat itu sangat memadai. Sehingga hampir seluruh masyarakat beralih profesi dari bertani menjadi bertenun, sampai-sampai tak heran mereka rela menjual sawah untuk membeli alat tenun yang dapat mereka gunakan di bagian belakang rumah.

Singkat cerita, pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1940-an. Jepang merubah sistem perekonomian di Indonesia. Pasca kemerdekaan pada tahun 1950-an pengaruh dari importir Batavia yang menawarkan penggunaan alat yang lebih canggih dengan menggunakan mesin yang dikenal dengan nama Alat Tenun Mesin (ATM). Alat buatan dari luar negeri ini turut mempercepat ekspansi perusahaan di Majalaya. Masyarakat tidak hanya menenun kain sarong, mereka juga memproduksi kain putihan (kain polos) yang kemudian berkembang menjadi kain kasur. Pada tahun 1960-an Majalaya mencapai puncak produksinya hingga terkenal dengan kota sandang, seiring banyaknya aliran uang yang mengalir kota inipun mendapat julukan kota dollar. Perubahan konstalasi politik, perubahan iklim kerja, dan perubahan ekonomi turut membawa andil dalam perkembangan pertenunan di Majalaya.

Perkembangan teknologi yang sangat cepat, mendesak banyak industri tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (ATBM) mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM pada industri berskala menengah dan besar. Beberapa masyarakat beralih dengan melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, keset dan sebagainya. Sekitar tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi, karena persaingan yang ketat dengan industri menengah dan besar yang menggunakan ATM dengan kapabilitas yang besar pula. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Namun, sebagian kecil masyarakat masih mempertahankan usaha tenun ATBM dengan pangsa pasar yang berbeda dengan industri besar. Jenis tekstil yang dihasilkan adalah tekstil yang hanya bisa dilakukan dengan ATBM dan tidak mampu dibuat oleh ATM. Disini, butuh strategi khusus untuk mensiasati persaingan yang ketat. 

Hingga saat ini tidak lebih dari 30 industri rumahan (home industry) yang masih bertahan dengan memproduksi produk marginal yang memiliki pangsa pasar tidak besar pula. Termasuk didalamnya 3 Industri Kecil yang masih bergelut dibidang Fashion yaitu Sutera Alam Majalaya, Bentang Terang Putra, dan Wanita Bali. Sangat disayangkan jika home industry yang ada ini jika sampai musnah. Kebudayaan yang merupakan warisan nenek moyang ada didalam kegiatan tersebut, sudah selayaknya tetap dipertahankan dan dibangkitkan kembali sebagai jati diri suatu daerah yang pernah mengalami masa kejayaannya. 

Desain kain sarung Majalaya
(Sumber : Fifi Sefrina, ITB-1981) 

Desain tenun sarung dan kain songket Majalaya
(Sumber : Fifi Sefrina, ITB-1981)

Desain selendang atau syal Majalaya
(Sumber : Fifi Serfina, ITB-1981)

Foto Nyi Mas Maryan dan Nyi Enda Suhaenda
(Sumber : Fifin Sefrina, ITB-1981)

Wawancara dengan salah satu pengrajin tenun Majalaya Bapak Evi Sofyan,
Pemilik dan pengurus Sutera Alam Majalaya.
(Sumber : Dokumentasi pribadi)

Rabu, 23 Februari 2011

Serat Daun Nanas dari Pemalang

Tanaman nanas yang selain dapat diambil buahnya, juga dapat diambil serat daunnya untuk dijadikan berbagai produk kerajinan. Salah satunya untuk dijadikan material tekstil atau komposit lainnya. Perkebunan nanas di Indonesia banyak terdapat di Lampung, Subang, dan kota lainnya seperti di Pemalang. Tepatnya di Desa Beluk Kecamatan Belik menghasilkan buah nanas yang biasanya oleh masyarakat setempat dijual langsung, bahkan ada juga yang di ekspor. Daunnya sebagian besar dibuang atau dibiarkan membusuk untuk dijadikan pupuk. Sebagian masyarakat juga ada yang dilatih untuk pembudidayaan daun nanas untuk diambil seratnya dan dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi. Salah satu pengrajin serat daun nanas adalah Bapak Slamet. Warga Desa Beluk mengenalnya dengan sebutan Slamet Ps. "Karena ada banyak orang yang namanya sama, jadi nama saya ditambahkan Ps, atau penambang pasir. Berkat penyuluhan pengolahan limbah tanaman nanas yang pernah diberikan oleh pengrajin tenun di Pekalongan, yakni dari CV. Ridaka. Masyarakat Desa Beluk memiliki pekerjaan tambahan yang diiringi penambahan penghasilan pula. Sekitar tahun 2000-an hampir seluruh masyarakat mengolah serat daun nanas menjadi benang serat daun nanas dengan cara menyambungkan serat satu persatu. Sayangnya masa kejayaan tersebut tidak bertahan lama, seiring dengan banyak bermunculan tekstil serat nanas palsu yang jauh lebih murah, sehingga pasar serat daun nanas perlahan tapi pasti mengalami penurunan. Dengan sedikitnya permintaan pasar, secara tidak langsung mengurangi jumlah produksi. Kini warga Desa Beluk hanya mengolah serat daun nanas sebagai pekerjaan sambilan jika ada waktu luang saja. Dahulu bisa menghasilkan 10-20 Kg benang setiap bulannya, sekarang tidak lebih dari 1 ons tiap bulannya.
Disamping itu pasar serat daun nanas kurang optimal. Jika pasar Eropa dan Asia masih gencar dengan serat daun nanas, di Indonesia sendiri masih belum maksimal dalam pengelolaan serat daun nanas. Masalah yang muncul diantaranya :
1. Belum adanya teknologi yang mampu menghasilkan serat berkualitas sebaik cara manual untuk kuantitas yang tinggi. Di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta sudah membuat alat/mesin pemisah serat. Sayangnya mesin yang disebut Dekotikator tersebut belum mampu menghasilkan serat sehalus pemisahan secara manual.
2. Belum adanya teknologi yang mampu menyambungkan serat dengan sangat halus, sehingga penyambungan terbaik dilakukan dengan cara manual.
3. Belum ada pengembangan desain dari serat daun nanas sehingga secara visual dan struktural, desain tekstil serat daun nanas tidak mengalami perubahan yang signifikan.


Nah... sekarang ini adakah yang bisa membantu masyarakat pengrajin serat daun nanas berdasarkan masalah diatas??? saya sendiri mencoba memecahkan salah satu masalah yang muncul, khususnya mengenai desain (karena study saya tentang desain.. hehehehe). Diharapkan tulisan ini bisa memacu peneliti-peneliti lainnya, khususnya yang bergelut di dunia teknologi dan permesinan untuk membantu masyarakat di Indonesia agar dapat mengembangkan diri dan memberikan sumbangsih kepada negara dengan mengekspor hasil-hasil kerajinan masyarakat khusunya di Pedesaan. Bila masalah di bagian hulu ini dapat terpecahkan, Insya Allah dibagian hilirpun akan berkembang dengan sendirinya. Sehingga produk yang dihasilkanpun tidak kalah bagusnya dengan produk sejenis buatan luar negeri. 


 Warga Desa Beluk, Pak Slamet Ps yang menekuni dunia serat alam sejak tahun 1995, khususnya serat daun nanas dan serat pisang.

Jumat, 11 Februari 2011

Ray Fashion

 

bermula dari yang kecil.. semoga bisa menjadi apa yang dicita-citakan....
Ayo...ayo... silakah... jika ada yg berminat membuat berbagai jenis blus atau busana lainnya... Insya Allah akan saya kerjakan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan saudara...

saya akan senang hati menerima pesanan saudara. keterangan lebih lanjut silakan hubungi saya di +62856 118 5519... Terima kasih... ^__^

Kamis, 10 Februari 2011

Pengembangan Desain Serat Daun Nanas... Part I

Manfaat serat alam di Indonesia telah banyak dikembangkan, mulai dari tekstil busana, pelengkap busana, berbagai bentuk kerajinan tangan, tekstil interior, hingga masuk ke dunia arsitektur, elektronik, dan otomotif. Karakter yang kuat, ringan, juga merupakan sumber daya alam yang melimpah dan relatif murah dibandingkan dengan serat sintetis. Beberapa jenis tanaman penghasil serat yang dapat digunakan untuk tekstil, antara  lain: rami, abaka, lidah mertua, eceng gondok, kenaf, dan daun nanas.

Daun nanas merupakan limbah perkebunan guna menghasilkan kualitas buah nanas yang baik. Limbah perkebunan ini telah banyak diolah sedemikian rupa untuk diambil seratnya yang kemudian oleh pengrajin di Pekalongan, Pemalang, Cirebon, Yogyakarta, hingga di Sumatera diolah lagi menjadi berbagai jenis kerajinan. Pasar serat daun nanas masih sangat besar, baik secara nasional maupun internasional. Hal ini diperkuat dari beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai keunggulan serat daun nanas sebagai material komposit untuk berbagai produk. Serat daun nanas sejak sekitar tahun 1980-an telah dibuat tekstil oleh seorang pengrajin di Pekalongan dengan teknik tenun. Dengan menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan kreatifitas yang tinggi serat daun nanas diolah menjadi produk eksekutif bahkan telah mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden RI. 

Melihat perkembangan tekstil serat daun nanas sebagai produk fashion secara visual tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan yang terjadi hanya sebatas reka latar, disamping itu kenyamanan yang menjadi salah satu keluhan konsumen kerap menyelimuti tekstil ini. Hal ini dapat mengakibatkan kejenuhan masyarakat sebagai konsumen yang berakibat pada penurunan penjualan tekstil serat daun nanas di pasaran. Permasalahan yang muncul diperparah dengan banyaknya serat daun nanas tiruan yang beredar dipasaran dengan harga yang jauh lebih murah. Semestinya pengembangan produk fashion diperlukan tidak hanya pada reka latar saja, tetapi juga pada reka struktur.

Di Jawa Barat khususnya di Kabupaten Subang sebagai perkebunan nanas terbesar kedua di Indonesia mengalami krisis kreatifitas dalam pengolahan serat daun nanas. Disini pendekatan desain belum terlaksana dengan baik. Penelitian pengembangan yang telah dilakukan hanya sebatas perancangan dan pengembangan mesin dekortikator serta pengembangan pengolahan serat daun nanas sebagai material komposit. Hal tersebut tentu dapat memberikan peningkatan kesejahteraan pekerja masyarakat, namun kurang signifikan. Karena produktifitas pekerja sendiri masih sangat tergantung kepada permintaan dan belum mampu menembus pasar nasional bahkan internasional.

Dari permasalahan inilah saya akan melakukan penelitian yang menitik beratkan pada pengolahan serat daun nanas melalui reka struktur serta melakukan pengembangan desain produk fashion guna memberikan alternatif pengolahan untuk menghasilkan bentuk baru pertekstilan di Indonesia.
(bersambung ...)

By Rachmawaty, S.Pd
Penulis adalah mahasiswa Magister Desain ITB (2009-2011) yang sedang menyelesaikan tesisnya yang berjudul pengembangan desain dari serat daun nanas untuk produk fashion.
Silakan berikan komentar sebagai bahan perbaikan tulisan saya. Terima Kasih... ^_^