Prinsip kerja alat tenun inilah menjadikan Alat Tenun Bukan Mesin diciptakan.
Kota Majalaya dahulu dikenal dengan subutan kota Dollar. Tentu bukan hanya karena kota tersebut mampu menghasilkan banyak dolar tetapi mampu memproduksi barang yang berkulitas baik dan bernilai jual baik hingga ke negara-negara lainnya. Barang yang diproduksi oleh kota Majalaya adalah tekstil berupa kain sarung yang pada tahun 1960-an mampu menyuplai 40% kebutuhan tekstil di Indonesia. Masa kejayaan Majalaya berlangsung cukup singkat, dalam waktu satu dekade perkembangan teknologi yang sangat cepat membuat banyak pengrajin harus pasrah menggulung tikar dan beralih ke profesi lainnya. Pada masa itu banyak pengrajin yang masih menggunakan teknologi sederhana yaitu Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Bpk. Surya Hardady menceritakan sejarah pertenunan di Majalaya dan sejarah Usaha Pertenunan Pustaka yang merupakan warisan dari kedua orang tuanya.
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Majalaya diantaranya Bpk. Sawali Abdul Gofur, Bpk. H. Surya Herdady (generasi ke-2 Perusahaan Tenun Pusaka) dan Bpk. Hidayat (Mantan Ketua UPT Majalaya) serta laporan penelitian Fifin Safrina H (1981). Masyarakat Majalaya sudah memiliki keterampilan menenun dengan memproduksi stagen (busana wanita) untuk dikonsumsi sendiri atau dijual kepada tetangga sekitar dengan menggunakan alat sederhana yang disebut kentreung. Pada saat itu sebagian penduduk juga menanam kapas dihalaman rumah sebagai bahan bakunya. Alkisah pada tahun 1930-an seorang Belanda yang singgah ke Majalaya melihat empat gadis penenun. Keempat sahabat tersebut diberi pelatihan dan disekolahkan di Bandung untuk mendapatkan pendidikan yang lebih mengenai pertenunan. Kemudian keempatnya diberi modal Alat Tenun Kayu (ATK = ATBM) untuk membuka usaha mandiri. Keempat penenun tersebut adalah Nyi Mas Maryam, Nyi Enda Suhaenda, Nyi Oya Rohaya, dan Nyi Icih. Masing-masing membuka usaha sendiri-sendiri kecuali Nyi Icih. Nyi Mas Maryam menggabungkan usaha pertenunannya dengan usaha tenun Bapak Ondjo Argadinata dan menamai usaha tersebut "Pusaka". Sedangkan Nyi Enda Suhaenda mendirikan usaha "Roswida" dan Nyi Oya Rohaya membuka usaha "Tawakal". Seluruhnya berfokus pada usaha tenun sarung. Saat itu kemajuan usaha pertenunan sangat cepat, disamping harga alat yang dapat dijangkau, keterampilan masyarakat saat itu sangat memadai. Sehingga hampir seluruh masyarakat beralih profesi dari bertani menjadi bertenun, sampai-sampai tak heran mereka rela menjual sawah untuk membeli alat tenun yang dapat mereka gunakan di bagian belakang rumah.
Singkat cerita, pada masa penjajahan Jepang sekitar tahun 1940-an. Jepang merubah sistem perekonomian di Indonesia. Pasca kemerdekaan pada tahun 1950-an pengaruh dari importir Batavia yang menawarkan penggunaan alat yang lebih canggih dengan menggunakan mesin yang dikenal dengan nama Alat Tenun Mesin (ATM). Alat buatan dari luar negeri ini turut mempercepat ekspansi perusahaan di Majalaya. Masyarakat tidak hanya menenun kain sarong, mereka juga memproduksi kain putihan (kain polos) yang kemudian berkembang menjadi kain kasur. Pada tahun 1960-an Majalaya mencapai puncak produksinya hingga terkenal dengan kota sandang, seiring banyaknya aliran uang yang mengalir kota inipun mendapat julukan kota dollar. Perubahan konstalasi politik, perubahan iklim kerja, dan perubahan ekonomi turut membawa andil dalam perkembangan pertenunan di Majalaya.
Perkembangan teknologi yang sangat cepat, mendesak banyak industri tenun rumahan yang masih menggunakan tustel (ATBM) mulai tergeser dan bangkrut karena tidak mampu bersaing dengan produk yang dihasilkan oleh ATM pada industri berskala menengah dan besar. Beberapa masyarakat beralih dengan melakukan kegiatan usaha yang sangat marginal, seperti pembuatan kain lap, keset dan sebagainya. Sekitar tahun 1970-an banyak pabrik-pabrik pribumi yang dijual terhadap pengusaha asing atau WNI nonpribumi, karena persaingan yang ketat dengan industri menengah dan besar yang menggunakan ATM dengan kapabilitas yang besar pula. Penjualan pabrik ini merupakan titik akhir dari rangkaian proses pengambilalihan perusahaan pribumi oleh pengusaha asing atau WNI nonpribumi. Namun, sebagian kecil masyarakat masih mempertahankan usaha tenun ATBM dengan pangsa pasar yang berbeda dengan industri besar. Jenis tekstil yang dihasilkan adalah tekstil yang hanya bisa dilakukan dengan ATBM dan tidak mampu dibuat oleh ATM. Disini, butuh strategi khusus untuk mensiasati persaingan yang ketat.
Hingga saat ini tidak lebih dari 30 industri rumahan (home industry) yang masih bertahan dengan memproduksi produk marginal yang memiliki pangsa pasar tidak besar pula. Termasuk didalamnya 3 Industri Kecil yang masih bergelut dibidang Fashion yaitu Sutera Alam Majalaya, Bentang Terang Putra, dan Wanita Bali. Sangat disayangkan jika home industry yang ada ini jika sampai musnah. Kebudayaan yang merupakan warisan nenek moyang ada didalam kegiatan tersebut, sudah selayaknya tetap dipertahankan dan dibangkitkan kembali sebagai jati diri suatu daerah yang pernah mengalami masa kejayaannya.
Desain kain sarung Majalaya
(Sumber : Fifi Sefrina, ITB-1981)
Desain tenun sarung dan kain songket Majalaya
(Sumber : Fifi Sefrina, ITB-1981)
Desain selendang atau syal Majalaya
(Sumber : Fifi Serfina, ITB-1981)
Foto Nyi Mas Maryan dan Nyi Enda Suhaenda
(Sumber : Fifin Sefrina, ITB-1981)
Wawancara dengan salah satu pengrajin tenun Majalaya Bapak Evi Sofyan,
Pemilik dan pengurus Sutera Alam Majalaya.
(Sumber : Dokumentasi pribadi)